Kamis, 19 Mei 2011

Tiki-Taka VS Total football, di antara Der Panzer dan Samba

Ada juga orkestra dalam sepak bola yang mampu memacu adrenalin penonton dengan kejutan-kejutan dari keindahan gerak individu maupun kolektifitas sebuah tim. Siapa yang tidak terpesona ketika Messi ataupun Robinho menggoyangkan kakinya menembus jantung pertahanan lawan. Siapa yang tidak menghela napas kagum oleh aksi kolektif Xavi dkk yang memainkan bola dari kaki ke kaki. Orang bilang ini adalah gaya tiki-taka yang secara mekanistik juga dimainkan oleh Jerman. Ada banyak gaya dalam permainan sepakbola, namun kita umumnya menggolongkan menjadi dua rezim yang dominan, yakni gaya Amerika Latin yang yang diwakili oleh Brazil dan Argentina dan gaya sepakbola Eropa seperti yang ditunjukan oleh Jerman dan Inggris. Gaya yang pertama sangat kental dengan aksi-aksi individu dan penguasaan bola yang tinggi membuat permainan sepakbola seperti atraksi tarian yang riang gembira. Membayangkan bentuk paling ekstrim dari style ini adalah sebuah tim yang betul-betul anarkis, gaya yang tidak didasarkan oleh organisasi permainan melainkan gerak random dari pemain tanpa ada spesialisasi posisi yang jelas.
Sebaliknya pada gaya sepakbola Eropa  yang secara diametral berbeda dengan gaya Latin. Secara ekstrim, style Eropa layaknya sebuah mesin canggih dimana setiap bagian dari sistem mempunyai peran dan karakteristik yang spesifik, sementara koordinasi antar elemen terjadi secara mekanis  dan terpusat. Style ini hampir tidak bergantung kepada kualitas individu dari tim  karena respon dari sistem yang didefenisikan sejak awal mencegah kebebasan berekspresi dari setiap elemen.  Sebuah gaya yang sangat birokratik dan efisien yang lahir dari kultur kapitalistik bangsa eropa.


Kedua bentuk ekstrim rezim sepakbola tersebut pada dasarnya adalah sistem yang sederhana.  Pengutamaan kreatifitas dari individu yang beragam meningkatkan kompleksitas dari sebuah sistem. Namun ketika elemen dalam sistem independen satu sama lain maka kekayaan informasi perilaku individu menjadi tidak relevan terhadap perilaku kolektif yang muncul. Aksi individu tanpa organisasi permainan yang jelas hanya memunculkan fenomena crowd secara kolektif.  Sebaliknya, gaya permainan yang terstruktur ala Eropa memunculkan koherensi perilaku kolektif pemain. Namun serumit-rumitnya sebuah mesin akan selalu ada manual berisi solusi terhadap masalah yang muncul, mendefenisikan spesialisasi dan keterhubungan antar bagian secara detil yang menyederhanakan kerumitan sistem.
Sistem yang kompleks tidak menghasilkan fenomena chaotic sementara sistem yang complicated tidak selalu merupakan sistem yang kompleks. Sistem kompleks berada di antara kedua rezim tersebut. Yang pasti bahwa sistem yang kompleks selalu melahirkan kejutan-kejutan. Hal yang  tidak dapat dipahami dari sekedar melihat perilaku tiap elemen sistem atau sekedar agregasi dari perilaku elemen sistem. Perilaku kompleks muncul dari interdependensi elemen dalam sistem yang mengakomodasi keragaman perilaku. Kebrojolan kejutan-kejutan tanpa adanya pengaturan terpusat membuat sistem ini menyerupai sistem yang “hidup”. Sangat menarik ketika sistem seperti ini ditemukan dimana-mana mulai dari perilaku atom pada temperatur transisi, sistem sel, gerak tubuh mahluk hidup sampai hubungan koordinasi antar elemen dalam organisasi manusia. Demikian halnya dengan sepakbola. Dinamika permainan sebuah tim menunjukan perpaduan karakter dua rezim ekstrim yang dijelaskan sebelumnya dalam derajat yang berbeda-beda. Dalam takaran paduan yang unik, Jerman menunjukan keampuhan organisasi permainannya yang sangat kental dengan rasa mekanistiknya, sementara aksi-aksi individu yang luar biasa tetap terlihat sangat menonjol pada gaya bermain Brazil.
Namun sepakbola adalah sebuah pertandingan. Dinamika dan ketangguhan organisasi permainan sebuah tim terkait erat dengan style yang dimainkan oleh lawannya. Dalam konteks ini, kemampuan adaptasi menjadi faktor penentu survivability sebuah tim. Prinsipnya adalah kompleksitas organisasi harus mencapai minimum kompleksitas yang disyaratkan oleh lingkungannya. Misalnya dalam organisasi masyarakat, pola organisasi dengan satu level hirarki kontrol mungkin cukup untuk mengatasi permasalahan dalam masyarakat hunter gatherer. Namun hal ini menjadi berbeda untuk masyarakat era revolusi industri. Meningkatnya kompleksitas sistem sosial mendorong kemunculan pola organisasi yang tidak lagi hirarkis melainkan jaringan koordinasi antar elemen yang mengkomodasi diversitas individu. Sistem koordinasi antar elemen yang terdesentralisasi membuka ruang bagi munculnya kreatifitas dan inovasi di tengah kolektifitas organisasi. Hal yang sangat dibutuhkan sebagai respon terhadap dinamika lingkungan dan meningkatkan survivability organisasi.
Pada piala dunia 2010 kita menyaksikan kelahiran gaya permainan baru yang merupakan bentuk optimum sekaligus terlepas dari dikotomi gaya permainan Eropa vs Amerika latin. Dalam takaran paduan yang pas, gaya Spanyol dan Belanda merupakan bentuk organis kombinasi superioritas individual pemain dengan kecepatan aliran bola kaki ke kaki melalui gaya tiki-taka dan total football. Jerman boleh saja memiliki organisasi permainan yang hebat, namun kualitas individu pemain yang standar serta karakter mekanis yang kental tidak memberikan ruang bagi munculnya kreatifitas dan inovasi yang dibutuhkan ketika pertandingan berjalan ketat. Sebaliknya, kreatifitas individual Brazil tanpa dibarengi oleh adanya seorang playmaker untuk membuat permainan menjadi terstruktur akhirnya harus menyerah dengan gaya total football Belanda. Pada akhirnya, dunia pun menikmati style permainan Spanyol yang penuh dengan kejutan-kejutan yang menyenangkan. Sebuah karakter yang membrojol dari  kombinasi kualitas individu yang mumpuni dalam sebuah organisasi permainan yang ritmis dan penuh dengan passing yang mengagumkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar